Jajakan
Jazz dengan The Stage Bus
SEBUAH bus hitam berukuran panjang 12 meter
diparkir di depan Plaza Senayan, Jakarta,
Kamis (6/6) malam. Sisi kanan badan bus
dibedah dan dibuat panggung berukuran 7 x 3
meter. Itulah The Stage Bus yang membawa
rombongan violis Luluk Purwanto (42) bersama
trio Helsdingen, yaitu Rene Van Helsdingen
(piano akustik), Marcello Pellitteri (drum),
dan Essiet Okon Essiet (bas akustik). Mereka
tampil dalam rangka Jak Art@2002.
Bus besar yang dimodifikasi oleh seniman
dan insinyur Aart Marcus itu memang dirancang
untuk musisi dengan mobilitas tinggi, seperti
Luluk dan sang suami, Rene, beserta trionya
itu. Di pertengahan 1990-an, The Stage Bus
pernah menjelajah 15 kota di Jawa dan Bali.
Mereka main di segala tempat, seperti di depan
keraton Yogyakarta, di sekitar pusat
perbelanjaan, di halaman Kampus ITB, di
halaman Candi Borobudur, sampai di pinggir
Pantai Jimbaran, Bali.
Itu hanya bagian dari petualangan The Stage
Bus yang pernah merambah daratan Eropa, dan
bulan depan mereka akan berkeliling ke 24
negara bagian Amerika Serikat (AS). Dalam
perjalanan dari Australia menuju Sumatera pada
1997, The Stage Bus diangkut kapal bersama
dengan 1.500 sapi impor dari Australia.
Bus memang dirancang praktis sebagai
"hotel" berjalan, yang dilengkapi
panggung yang dengan cepat dapat
dibongkar-pasang. Bus membawa grand piano
berikut piranti tata cahaya, dan tata suara
berkekuatan 1.000 watt. Pada bagian bus
terdapat "studio rekaman" mini
dengan piranti perekam 28 jalur suara.
Begitulah bus dirancang untuk menyebarkan
kegembiraan jazz. Di depan Plaza Senayan,
penonton bisa menikmati dengan cara santai.
Mereka boleh duduk "resmi" di 50-an
kursi yang disediakan The Stage Bus. Boleh
juga lesehan di rumput, duduk di undakan batu,
nongkrong di motor.
Jazz, kata orang, dapat mampir atau singgah
ke telinga orang secara ajaib, dan tidak harus
disimak dengan dahi berkerut. Permainan Luluk
dan kawan-kawan itu memang harus bersaing
dengan deru mobil dan atau raungan motor yang
melintas di Jalan Asia-Afrika. Namun,
begitulah cara bersahabat The Stage Bus dalam
mendekati publik. Mereka tidak memanggil orang
untuk datang menonton, tetapi mendatangi
publik untuk disuguhi jazz modern.
Luluk dan The Helsdingen Trio memainkan
komposisi mereka sendiri, seperti Sit and
Go, Kelingan, Mau Lagi, yang praktis tak
dikenal pengunjung, kecuali Es Lilin
yang mendapat sambutan meriah.
Lagu tradisional berbahasa Sunda itu
diawali lantunan vokal Luluk: es lilin mah
eu-ceu kalapa muda/ dibantun mah eu-ceu ka
Majalaya....
Bagaimana pemain bas dan drum asal AS itu
menghayati Es Lilin?
"Mereka itu musisi yang bagus, mereka
hanya belajar lewat telinga. Mereka menghayati
lagu dengan merespons permainan Luluk,"
kata Rene, pria berdarah Belanda, kelahiran
Jakarta, 1957.
Rene, yang sudah 15 tahun menikah dengan
Luluk, dengan bercanda mengatakan, "Saya
sempat mendengar pelog dari permainan
Luluk."
Apa pun, itulah jazz yang memang sangat
terbuka untuk menyerap pengaruh musikal
sekeliling. Keterbukaan jazz itu yang
diharapkan juga diterima dengan telinga
terbuka oleh publik di mana saja. Itulah yang
dibawa The Stage Bus yang berkeliling
menjajakan jazz. Mereka mencairkan kesan
eksklusif jazz, dengan cara menyuguhkan jazz
di sembarang tempat, dengan permainan yang
tidak sembarangan. (XAR)